Tuesday, January 30, 2018

OM NAMAH ŚIWAYA

Kata "namah" berasal dari akar kata "nam" yang berarti "menunduk/ membungkuk". Siapa yang menunduk? Menunduk pada siapa? Menunduk pada Siwa. Siapa Siwa? Siwa adalah Kesadaran Universal, kebalikan dari "ahangkara", kesadaran personal yang penuh pengkondisian. Kata 'namah siwaya' di sini berarti membungkuknya sang ego personal pada keberadaan universal, pada kesatuan yang menjadi realitas sejati semesta. Membungkuknya diri kecil (jiva) pada kesejatianya (Siwa). Dalam bahasa leluhur kita, "atutur sang atma ring jatinira", sadar Sang Atma dengan kesejatian dirinya. Jiva adalah Siwa yang lupa pada kesiwaanya, dan karena lupa maka dia merasa berbeda dengan Siwa, merasa terpisah dari Siwa. Serupa dengan seorang penari topeng yang terlalu tenggelam membawakan lakon yang ditarikanya, sampai lupa dengan identitas sejatinya di balik topeng. Tapi memang, tujuan sang penari topeng memakai dan membawakan lakon adalah untuk mengekspresikan sisi tertentu dari dirinya yang berbeda dari kesejatianya. Siwa memang sengaja menjadikan diri-Nya sebagai Jiwa, sebagai diri kecil, yang mana tugas ini diperankan oleh Ahamkara, membatasi antara Siwa dengan Jiwa. Inilah esensi ajaran Śaiva Tantra dalam Pratyabhijñā-hṛdaya yang dituliskan oleh Rājānaka Kṣemarāja sebagai 'karika' terhadap Kitab Śiva Sūtra. Dalam nama mazhabnya sendiri sudah tertuang esensi ajarannya, Pratyabhijñâ berarti "mengingat" atau "mengenali", kesadaran kecil yang mengingat kesejatianya sebagai Siwa. Mungkin ini alasan kenapa Rājānaka Kṣemarāja mengawali uraianya dengan salam "Namah Siwaya". Lihatlah sekarang sekeliling, banyak yang mengucapkan "Namah Siwaya", namun apakah salam itu ditujukan sebagai pengakuan ahamkara terhadap kesiwaan, ataukah ahangkara yang menyembah keangkuhanya sendiri? Lihatlah sekeliling, bukan untuk menghakimi, namun untuk mencari cermin yang memproyeksikan diri. Seorang Tantris dan seorang Bhakta bisa saja sama-sama mengucapkan "Om namah siwaya", namun sangat berbeda 'bhāva' atau 'ambêk' atau kondisi bathin dalam pengucapanya, pun berbeda landasan pengucapanya. Seorang Bhakta mengucapkam "Om namah siwaya" dalam kondisi batin menyembah sesosok dewata yang ada "di sana"; ada dualitas antara yang disembah dan yang menyembah. Sementara seorang Tantris mengucapkan "Om namah siwaya" untuk mengenali (pratyabhijñā) kesiwaan atau kesejatian dirinya, yang meliputi "segalanya". Literatur Kuno Nusantara seperti sepakat; memuja ribuan lingga siwa dari batu masih kalah dibanding memuja satu lingga dari permata. Namun memuja ribuan lingga permata masih kalah dibandingkan memuja Svālingga atau Atmalingga, yaitu kesiwaan di dalam diri. Apakah berarti tidak perlu ritual puja di luar? Tentu perlu. Namun semua untuk mengingatkan kesiwaan di dalam diri, bukan sosok-sosok yang ada di sana. Saat mengucapkanlah "Om namah siwaya", biarkan 'ahamkara' melakukan puja, menundukkan diri dan menghaturkan sembah, namun pastikan bahwa yang ia sembah bukanlah dirinya sendiri, melainkan Siwa yang adalah Paramaśūnya. Dan, kalaupun ternyata ahamkara hanya menyembah dirinya sendiri, kenalilah kelicikan itu, ini pun sebuah tahap dalam pratyabhijñā, tahap pengenalan kembali akan kesiwaan dengan mengenal yang "bukan" Siwa. *OM NAMAH SIWAYA* "aku bersujud pada kesejatianku"

No comments:

Post a Comment

Budaya Bali yang sesungguhnya & Peristiwa sakralnya

Kita harus mengalami budaya Bali yang sesungguhnya dan acara sakralnya sekali dalam hidup mereka. Hari yang sunyi itu dirayakan setahun seka...